Perpajakan International

Pajak internasional adalah hukum pajak nasional yang terdiri atas kaedah, baik berupa kaedah-kaedah nasioal maupun kaedah yang berasal dari traktat antarnegara dan dari prinsip yang telah diterima baik oleh Negara-negara di dunia, untuk mengatur soal-soal perpajakan dan dapat ditunjukkan adanya unsur-unsur asing, baik mengenai subjek maupun mengenai objeknya. 

Setiap Negara memiliki peraturan perundang-undangan perpajakan nasional sendiri-sendiri atau yang disebut dengan yurisdiksi nasional, yang masing-masing peraturan perundang-undangan dimaksud memiliki landasan dan filosofi hukum yang berbeda dengan Negara-negara lainnya. 

Dalam rangka melakukan investasi di Negara lain maupun dalam rangka suatu Negara menerima investasi dari Negara lain pasti akan terjadi beberapa konflik kepentingan. Sebagai contoh, Indonesia menganut konsep pengakuan penghasilan, yaitu konsep tambahan kemampuan ekonomis atau juga disebut world wide income. Artinya peraturan perundang-undangan pajak penghasilan tidak mempermasalahkan darimana datangnya penghasilan, bagaimana penghasilan tersebut diterima atau diperoleh, dan dalam bentuk apa penghasilan tersebut. 

Semua adalah objek pajak penghasilan yang harus dikenakan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Indonesia, baik Wajib Pajak orang pribadi, badan, maupun Bentuk Usaha Tetap. Sehingga ada kemungkinan terjadi benturan (konflik) dalam pengenaan pajak dengan Negara lainyang menganut asas pemajakan berbeda dengan Indonesia, nisalnya Negara yang menganut asas pemajakan kebangsaan (kewarganegaraan). Negara yang menganut asas kebangsaan tidak mempermasalahkan dari mana penghasilan diterima atau diperoleh, seseorang tetap diwajibkan membayar pajak di Negara di mana dia berkebangsaan. 

Untuk mengurangi resiko kemungkinan pengenaan pajak berganda sebagai akibat timbulnya konflik tersebut, maka ada beberapa metode yang biasa dilakukan, di antaranya: 



a. Metode perjanjian pengenaan pajak berganda internasional, yang antara lain dapat dilakukan dengan: 

·         Traktat yang bersifat multilateral, yakni perjanjian yang dilakukan oleh beberapa Negara dalam suatu perjanjian

·         Traktat yang bersifat bilateral, yakni perjanjian yang menyangkut dua Negara. 



b. Metode unilateral atau sepihak 

Cara ini ditempuh oleh Negara secara sepihak melauli yurisdiksi nasionalnya, yakni dengan cara memasukkan ketentuan-ketentuan yang kemungkinan dapat menimbulkan pengenaan pajak berganda kedalam yurisdiksi nasionalnya, misalnya Pasal 24 Undang-Undang Pajak Penghasilan tentang kredit pajak luar negeri. Tata cara pengkreditan luar negeri terbagi menjadi dua, yaitu: 

·         Kredit penuh, yakni pembayaran pajak diluar negeri dikreditkan sebesar jumlah yang dibayarkan di luar negeri; dan 

·         Kredit terbatas, yakni tata cara pengkreditan pajak yang dibayar di luar negeri menurut jumlah yang paling rendah antara yang dibayar di luar negeri dengan jumlah pajak apabila dikenakan menurut tarif di Indonesia, sebagaimana dianut Pasal 24 Undang-Undang PPh. 



c. Metode Pembebasan 

Metode ini adalah dengan cara memberikan kebebasan terhadap penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri. Ada dua cara pembebasan yang dapat ditempuh, yaitu: 

·         Memberikan pembebasan sepenuhnya terhadap penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Negara sumber. Artinya penghasilan dari Negara sumber tidak dimasukkan dalam perhitungan pajak Negara domisili. Metode ini juga sering disebut dengan pembebasan penuh atau full exemption

·         Cara pembebasan penghitungan pajak yang terutang hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di dalam negeri, tetapi menerapkan tarif rata-rata atas seluruh penghasilan, baik dari dalam negeri atau dari luar negeri, atau disebut juga pembebasan dengan progresi atau exemption with progression.



Konsep Dasar Perpajakan Internasional

Indonesia merupakan bagian dari dunia internasional yang sudah pasti dalam menjalankan roda pemerintahannya melakukan hubungan internasional. Indonesia sebagai negara berdaulat memiliki hak untuk membuat ketentuan tentang perpajakan. Fungsi dari pajak yang ditarik oleh pemerintah ini utamanya adalah untuk membiayai kegiatan pemerintahan dalam rangka menyediakan barang dan jasa publik yang diperlukan oleh seluruh rakyat Indonesia. Di samping itu, pajak juga berfungsi untuk mengatur perilaku warga negara untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. 

Hubungan internasional dapat berupa kerjasama di bidang keamanan pertahanan, kerjasama di bidang sosial, ekonomi, budaya dan lainnya, namun pembahasan ini terbatas pada kegiatan ekspor maupun impor (Transaksi Perdagangan Internasional) yang terkait dengan pajak internasional.

Setiap kerjasama yang dilakukan oleh setiap negara tentunya harus disepakati terlebih dahulu oleh para pihak guna mencapai komitmen bersama yang termuat dalam suatu perjanjian internasional, tidak terkecuali perjanjian dalam bidang perpajakan. Transaksi antar ke dua negara atau beberapa negara dapat menimbulkan aspek perpajakan, hal ini perlu diatur dan disepakati oleh kedua negara atau seluruh dunia guna meningkatkan perekonomian dan perdagangan kedua negara, agar tidak menghambat investasi penanaman modal asing akibat pengenaan pajak yang memberatkan wajib pajak yang berkedudukan di kedua negara yang mengadakan transaksi tersebut.

Untuk itu perlu adanya kebijakan perpajakan internasional dalam hal mengatur hak pengenaan pajak yang berlaku disuatu negara, dengan asumsi bahwa disetiap negara dapat dipastikan sudah mengatur ketentuan pajak dalam wilayah yang menjadi kedaulatannya. Namun setiap negara tidak bebas mengatur pengenaan pajak terhadap badan atau warga negara asing, pajak internasional merupakan salah satu bentuk hukum internasional, dimana setiap negara harus tunduk pada kesepakatan dunia internasional yang dikenal dengan istilah konvensi wina.



Latar belakang terjadinya perpajakan internasional dikarenakan semakin meningkatnya arus investasi, perdagangan, dan mobilitas sumber daya manusia yang tidak lagi mengenal batas Negara. Hal ini berdampak adanya permasalahan disisi perpajakan sebab setiap Negara mempunyai peraturan sendiri untuk aturan perpajakannya (atas penduduk atau bukan pendduk), prinsip ini berpengaruh terhadap subjek dan objek pajak luar negeri.

Asas pemajakan :

      ·         Asas domisili

Sbjek pajak dikenakan pajak di Negara tempat subjek pajak berdomisili. Indonesia menganut asas ini.

      ·         Asas sumber

Pajak dikenakan berdasarkan tempat sumber penghasilan berasal.

      ·         Asas kewarganegaraan

Pengenaan pajak dikenakan atas status kewarganegaraannya walaupun penghasilan diterima dari Negara lain. Amerika menganut asas ini.

      ·         Asas campuran

Campuran dari kedua asas di atas.

      ·         Asas teritorial

Pajak dikenakan atas penghasilan yang diperoleh dalam wilayah suatu Negara sehingga jika atas penghasilan yang diperoleh diluar Negara tersebut tidak dikenakan pajak.



Prinsip-prinsip pemajakan berbeda yang dianut masing-masing Negara merpakan penyebab mnculnya pajak berganda internasional. Penghindaran pajak berganda di suatu Negara dapat dilakukan dengan menerapkan metode kredit pajak dan metode pengecualian.

Pada dasarnya, pajak internasional berlandaskan pada ketentuan pemajakan domestic yang berlaku terhadap wajib pajak dalam negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia. Selain pada ketentuan domestic, pajak internasional juga berlandaskan pada perjanjian perpajakan dan praktik perpajakan global (Gunadi, 1997)

Dimensi pajak internasional meliputi aturan pajak internasional yang ada dalam UU Pajak Indonesia, atran perpajakan yang ada di UU Pajak Negara lain yang bersinggungan serta persetujuan penghindaran pajak (tax treaty) yang telah dibuat Indonesia dengan Negara lain.



DOMISILI FISKAL

Domisili fiskal adalah status kependudukan yang digunakan ntk tujuan pemajakan. Pemajakan untuk penduduk umumnya dikenakan dengan prinsip world wide income (pajak akan dikenakan dinegara domisili, baik penghasilan yang diterima/diperoleh dari dalam negeri maupn yang diterima/diperoleh dari luar negeri. Sesuai dengan pasal 4 ayat (1) UU PPh).

Pemajakan bukan penduduk umumnya dikenakan di Negara sumber hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Negara tersebut.

UU PPh tidak melihat stats subjek pajak orang pribadi berdasarkan kewarganegaraan, namun lebih kepada :

1.       Tempat tinggal

2.       Berapa lama berada di Indonesia, dan

3.       Adanya niat untuk bertempat tinggal di Indonesia



SUBJEK PAJAK DALAM NEGERI

Sesuai pasal 2 ayat (3) UU PPh, criteria dari subjek pajak dalam negeri adalah sebagai berikut:

·         Subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi wajib pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi PTKP. Orang pribadi bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, orang pribadi yang dalam sat tahun pajak berada di Indonesia, dan mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia.

·         Subjek pajak dalam negeri menjadi wajib pajak sejak saat didirikan atau bertempatkedudukan di Indonesia.



SUBJEK PAJAK LUAR NEGERI

Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, berada di indonesia tidak lebih darai 183 hari selama jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan di Indonesia yang dapat menerima atau memeroleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Subjek pajak luar negeri, baik orang pribadi maupun badan sekaligus merpakan wajib pajak karena menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui nbentk usaha tetap di Indonesia.

Wajib pajak lar negeri hanaya akan dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima tau diperoleh bersumber dari Indonesia saja. Pasal 26 UU PPh mengatur tentang potongan pajak sebesar 20% atas oenghasilan wajib pajak luar negeri.



PERBEDAAN SPDN DAN SPLN

·         WPDN dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh di Indonesia maupun dari luar Indonesia, WPLN dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia.

·         WPDN dikenai pajak berdasarkan tarif neto dengan tarif umum, WPLN dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif sepadan.

·         WPDN wajib menyampaikan SPT PPh, WPLN tidak wajib menyampaikan SPT PPh karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.



TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK

Orang pribadi ata instansi yang tidak termask objek pajak menurut ketentuan UU PPh adalah:

·         Kantor perwakilan Negara asing

·         Pejabat-pejabat perwakilan diplomatic dan konsulat atau penjabat-penjabat yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bkan warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan diluar jabatan atau kerjaannya tersebut serta Negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik .

·         Organisasi-organisasi internasional dengan syarat :

1.       Indonesia menjadi anggota organisasi tersebt

2.       Tidak menjalankan usaha atau kegiatan untuk memperoleh penghasilan dari indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran anggota.

·         Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional dengan syarat bukan WNI dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.



Pengertian Pajak Internasional

Definisi Pajak Internasional dalam Undang-undang Pajak Penghasilan sampai detik ini belum ada. Bapak Sriadi Kepala Seksi Perjanjian Perpajakan Eropa, Kantor Pusat Direktorat Jendral Pajak, memberanikan diri untuk mendefinisikan tentang pengertian Pajak Internasional berdasarkan uraian sebelumnya.

“Pajak Internasional adalah kesepakatan perpajakan yang berlaku di antara negara yang mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan pelaksanaanya dilakukan dengan niat baik sesuai dengan Konvensi Wina (Pacta Sunt Servanda).”

Dengan demikian peraturan perpajakan yang berlaku di negara Indonesia terhadap badan atau orang asing menjadi tidak berlaku bilamana terdapat perjanjian bilateral (dua negara) tentang Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan negara asal atau penduduk asing tersebut.



Tujuan Kebijakan Perpajakan Internasional

Setiap kebijakan tentu mempunyai tujuan khusus yang ingin dicapai, begitu juga dengan kebijakan perpajakan internasional juga mempunyai tujuan yang ingin dicapai yaitu memajukan perdagangan antar negara, mendorong laju investasi di masing-masing negara, pemerintah berusaha untuk meminimalkan pajak yang menghambat perdagangan dan investasi tersebut. Salah satu upaya untuk meminimalkan beban tersebut adalah dengan melakukan penghindaraan Pajak Berganda Internasional.

Tujuan P3B antara lain:

a. Tidak terjadi pemajakan ganda yang memberatkan iklim usaha dunia

b. Peningkatan investasi modal dari luar negeri ke dalam negeri

c. Peningkatan sumber daya manusia

d. Pertukaran informasi untuk mencegah penghindaran pajak

e. Keadilan dalam hal pemajakan penduduk dari negara yang terlibat dalam perjanjian.



Prinsip-prinsip yang harus dipahami dalam pemajakan internasional

Doernberg (1989) menyebut 3 unsur netralitas yang harus dipenuhi dalam kebijakan pemajakan internasional:

  1. Capital Export Neutrality (Netralitas Pasar Domestik) artinya kemanapun kita berinvestasi, beban pajak yang dibayar adalah sama. Sehingga tidak ada perbedaan apabila kita berinvestasi di dalam atau luar negeri. Oleh karena itu, hal yang perlu dihindari apabila berinvestasi di luar negeri adalah beban pajak yang lebih besar. Hal ini disebabkan karena adanya beban pajak di dua negara tersebut. 
  2. Capital Import Neutrality (Netralitas Pasar Internasional artinya darimanapun investasi yang kita lakukan berasal, akan dikenakan pajak yang sama. Sehingga apabila berinvestasi di suatu negara, investor dari dalam negeri atau luar negeri akan dikenakan tarif pajak yang sama. 
  3. National Neutrality artinya setiap negara, mempunyai bagian pajak atas penghasilan yang sama. Sehingga apabila terdapat pajak luar negeri yang tidak bisa dikreditkan dapat  dikurangkan sebagai biaya pengurang laba.

Aspek Perpajakan Internasional Dalam Undang-undang Pajak Penghasilan

Indonesia sebagai Negara berdaulat memiliki hak untuk membuat ketentuan tentang perpajakan. Fungsi dari pajak yang ditarik oleh pemerintah ini utamanya adalah untuk membiayai kegiatan pemerintahan dalam rangka menyediakan barang dan jasa publik yang diperlukan oleh seluruh rakyat Indonesia. Di samping itu, pajak juga berfungsi untuk mengatur perilaku warga Negara untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Salah satu jenis pajak yang berlaku di Indonesia dan memiliki peranan penting dalam penerimaan negara adalah Pajak Penghasilan (PPh) yang pertama kali diberlakukan pada tahun 1984 berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983.

Pajak Penghasilan adalah pajak subjektif di mana jenis pajak ini bisa dikenakan apabila syarat subjektif dan objektif terpenuhi bagi orang atau badan. Pada umumnya hampir semua orang atau badan di Indonesia akan memenihi syarat subjektif dan jika  orang atau badan ini memperoleh penghasilan maka syarat objektif juga terpenuhi.

Jika subjek pajak yang dikenakan PPh adalah WNI yang penghasilannya berasal dari Indonesia juga, maka tidak ada aspek pajak internasional dalam kasus ini. Namun demikian, karena definisi subjek pajak tidak dikaitkan dengan kewarganegaraan maka terdapat kemungkinan ada warga Negara asing atau badan asing yang dikenakan kewajiban Pajak Penghasilan di Indonesia. Dalam kasus seperti ini, Pajak Penghasilan sudah menyentuh aspek pajak internasional.

Aspek pajak internasional juga akan terjadi bila seorang WNI atau badan Indonesia menerima atau memperoleh penghasilan dari luar negeri. Hal ini disebabkan karena Pajak Penghasilan Indonesia menerapkan prinsip worldwide income sehingga penghasilan dari luar negeri di atas juga merupakan objek Pajak Penghasilan Indonesia.

Dalam paragra-paragraf berikut saya coba untuk menjelaskan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan (UU Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008).



Subjek Pajak Luar Negeri

Dalam pengenaan Pajak Penghasilan, dikenal dua jenis subjek pajak yaitu subjek pajak dalam negeri (disingkat SPDN) dan subjek pajak luar negeri (SPLN). SPDN terdiri dari SPDN Orang Pribadi dan SPDN Badan.

SPDN Orang Pribadi adalah orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Sementara itu SPDN Badan adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.

SPLN adalah kebalikan dari SPDN dalam arti orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tidak berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan suatu tahun pajak tidak berada di Indonesia dan tidak mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

SPLN yang berbentuk badan adalah badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

Kedua kelompok di atas (SPLN Orang Pribadi dan SPLN Badan) baru bias disebut SPLN jika memdapatkan penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Nah, dilihat dari cara mendapatkan penghasilannya dari Indonesia, SPLN ini terbagi menjadi dua jenis. Pertama adalah SPLN yang mendapatkan penghasilan dengan memiliki tempat usaha tetap di Indonesia. Tempat usaha tetap ini biasa disebut Bentuk Usaha Tetap (BUT). Kedua, SPLN yang mendapatkan penghasilan dari Indonesia tidak melalui BUT di Indonesia. Kedua bentuk SPLN ini selanjutnya disebut SPLN BUT dan SPLN Non BUT.



Bentuk Usaha Tetap

Bentuk usaha tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh SPLN (baik orang pribdai atau badan) untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin, peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik atau peralatan otomatis (automated equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet.

Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

Perwujudan BUT dapat berupa tempat kedudukan manajemen, cabang, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi, perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan, gudang, ruang untuk promosi dan penjualan, proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan, pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas, agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.



Penghasilan BUT

Penghasilan yang menjadi objek pajak bagi BUT, sebagaimana di dalam Pasal 5 ayat (1) UU PPh, terdiri dari tiga jenis yaitu ;

  1. penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai.
  2. penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia
  3. penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud

Penghasilan BUT yang pertama adalah penghasilan sebenarnya BUT dari harta yang dimiliki atau dikuasainya di Inonesia. Penghasilan yang kedua merupakan penerapan force of attraction rule di mana walaupun penghasilan ini adalah penghasilan kantor pusat BUT di luar negeri, tetapi karena berasal dari penjualan atau pemberian jasa yang sejenis dengan yang dilakukan BUT, maka penghasilan ini ditarik sebagai penghasilan BUT nya di Indonesia.

Penghasilan yang ketiga merupakan penerapan atribusi karena hubungan efektif di mana jika kantor pusat BUT menerima atau memperoleh penghasilan berupa bunga, dividend dan royalty dari suatu perusahaan di Indonesia dan perusahaan ini mempunya hubungan efektif dengan BUT, maka penghasilan ini akan diatribusi juga kepada BUT di Inonesia. Tidak ada definisi kelas tentang hubungan efektif ini namun demikian, hubungan yang efektif ini bisa digambarkan sebagai hubungan ketergantungan atau hubungan yang saling menguntungkan antara BUT dan perusahaan yang memberikan dividen, bunga atau royalty kepada kantor pusat BUT.



Biaya BUT

Selain tunduk kepada ketentuan umum tentang pengurang sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 9 UU PPh, biaya bagi BUT juga diatur dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (3) UU PPh.

Berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UU PPh, biaya-biaya yang terkait dengan penerapan force of attraction rule dan atribusi hubungan efektif dapat dibiayakan oleh BUT. Sementara itu berdasarkan  Pasal 5 ayat (3) biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, yang besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.



Witholding Tax PPh Pasal 26

Penghasilan yang diterima atau diperoleh SPLN yang tanpa melalui BUT di Indonesia merupakan objek pemotongan PPh Pasal 26. Dilihat dari cara pemotongannya, jenis penghasilan yang menjadi objek withholding tax PPh Pasal 26 ini adalah :

  1. Penghasilan Dengan Tarif 20% dari bruto. Penghasilan yang termasuk kelompok ini adalah dividen, bunga, sewa, royalty, imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan, hadiah dan penghargaan, uang pension, premi swap dan keuntungan pembebasan hutang.
  2. Penghasilan Dengan Tarif 20% dari Perkiraan Penghasilan Neto. Termasuk dalam kelompok ini adalah capital gain atas penjualan atau pengalihan harta di Indonesia dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri. Termasuk dalam kelompok ini adalah penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3c) UU PPh.
  3. Penghasilan Branch Profit Tax dari BUT. Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20%, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia

Prinsip Worlwide Income

Prinsip worldwide income pada UU PPh biss kita temui pada Pasal 4 ayat (1) UU PPh di mana ditegaskan bahwa penghasilan yang menjadi objek PPh ini bisa berasal dari Indonesia maupun berasal dari luar Indonesia. Kata-kata “dari luar Indonesia” inilah yang menjadikan prinsip pengenaan PPh kepada SPDN menjadi berdimensi internasional.



Kredit Pajak Luar Negeri PPh Pasal 24

Terkait dengan prinsip worldwide income di atas, SPDN yang memperoleh penghasilan dari luar negeri akan dikenakan PPh di Indonesia. Negara tempat sumber penghasilan di atas juga kemungkinan besar akan mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari negaranya. Dengan demikian, besar kemungkinan akan terjadi pengenaan pajak berganda di mana dua yurisdiksi perpajakan yang berbeda mengenakan pajak kepada penghasilan yang sama yang diperoleh subjek pajak yang sama.

Untuk menghindari pengenaan pajak berganda ini, UU PPh secara unilateral memberikan solusi dengan adanya Pasal 24 UU PPh. Pasal ini mengatur bahwa atas pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri dapat dikreditkan oleh Wajib Pajak dalam negeri.Namun demikian, besarnya pajak yang bisa dikreditkan dibatasi tidak boleh melebihi penghitungan pajak terutang berdasarkan UU PPh.

Dalam menghitung besarnya maksmum kredit pajak PPh Pasal 24 ini, UU PPh menerapkan metode pembatasan tiap negara (per country limitation). Untuk itu maka penentuan Negara sumber penghasilan menjadi penting. Masalah ini diatur dalam Pasal 24 ayat (3) UU PPh di mana penentuan Negara sumber penghasilan ditentukan sebagai berikut :

  1. penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut didirikan atau bertempat kedudukan
  2. penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada
  3. penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah negara tempat harta tersebut terletak
  4. penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada
  5. penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
  6. penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan adalah negara tempat lokasi penambangan berada
  7. keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap berada
  8. keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap berada

Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B)

Dengan tujuan untuk menghilangkan pengenaan pajak berganda internasional dan juga untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak (tax avoidance), diperlukan suatu perjanjian perpajakan dengan Negara lain.

Undang-undang PPh, telah memberikan mandat kepada pemerintah untuk melakukan perjanjian dengan Negara lain.

Dalam penjelasan Pasal 32A UU PPh yang mengatur hal ini dijelaskan bahwa perjanjian perpajakan berlaku sebagai perangkat hukum yang berlaku khusus (lex-spesialis). Dengan demikian, ketentuan dalam UU Pajak Penghasilan tidak berlaku jika di dalam perjanjian perpajakan diatur lain.

Masing-masing negara berhak untuk menentukan pajak dalam batas kenegaraannya yang mengakibatkan perbedaan perpajakan di tiap-tiap negara, selain juga disebabkan perbedaan budaya dan pemaksaan pajak. Perbedaan tersebut meliputi perbedaan dalam penentuan pajak dan penentuan biaya.
Keseimbangan dan netralitas
Prinsip equity menyatakan dalam kondisi sama pembayar pajak hendaknya dibebankan pajak yang sama sedang netrality menyatakan pengaruh pajak hendaknya tidak memiliki imbas dalam pengambilan keputusan bisnis.
Sumber pendapatan
Sumber pendapatan dikelompokkan dalam dua kelas yaitu sumber pendapatan dalam negeri dan luar negeri. Sumber pendapatan luar negeri adalah hasil ekspor barang dan jasa termasuk dari cabang di luar negeri dan dikenai pajak pada saat pendapatan diakui. Pajak cabang LN dapat dikenakan dengan menggunakan dua metode yaitu pendekatan teritorial dan worldwide. Pendekatan teritorial berprinsip pajak dikenakan di negara asal di mana pendapatan di dapat. Pendekatan worldwide dikenakan baik pada penghasilan dalam maupun luar negeri (pajak berganda).
Penentuan biaya
Penentuan biaya berpengaruh pada besar pajak. Jika R dan D dikapitalisasi maka pajak penghasilan akan berlangsung selama masa pengakuan nilai sampai habis dalam penghapusannya. Jika diperlakukan sebagai biaya hanya berpengaruh pada periode tertentu sehingga berdampak pada pajak langsung. Perbedaan penentuan umur aset akan menentukan besar biaya. Aset didepresiasi lebih pendek berakibat pada biaya menjadi lebih besar dan pajak lebih kecil.
Tipe-tipe pajak
1. Corporate Income Tax, dua pendekatan yang digunakan sistem klasik yaitu pajak dikenakan jika penghasilan sudah diterima dan dicatat subyek pajak. Dan sistem integral yaitu mengeliminasi pajak berganda lewat dua metode yakni split rate dan imputansi.
2. With Holding Tax, penghasilan yang dihasilkan perusahaan anak di LN dikenakan pajak negara itu, sedang dividen yang dikirim ke perusahaan dikenakan pajak negara tempat perusahaan induk berada.
3. Indirect Tax, pajak tidak langsung dikenal sebagai pajak pertambahan nilai. Konsep mendasari adalah bahwa pajak dikenakan pada tiap tahap produksi. Pertambahan nilai didapat dari penghasilan barang dikurang nilai input, tetapi PPn bukan pajak penjualan.
Penghindaran pajak berganda
Permasalahan pengenaan pajak terhadap anak perusahaan di LN adalah kemungkinan terjadi pengenaan pajak ganda yaitu saat penghasilan diakui dikenai pajak nnegara tersebut dan dikenai pajak negara perusahaan induk saat penghasillan diakui oleh perusahaan induk.penghindaran pajak dapat menggunakan metode :
1. Kredit pajak, perusahaan dapat mengurangi beban pajak dengan dollar for dollar basis.
2. Traktat pajak, perbedaan filosofi pembebanan pajak menimbulkan treaty untuk meminimisasi pajak berganda, melindungi hak amsing-masing negara dalam memungut pajak dan menyediakan acuan untuk memutuskan suatu masalah.
Perpajakan USA untuk sumber pendapatan luar negeri
Pendapatan dibagi dua :
1. Pendapatan dari impor dan ekspor barang jasa perusahaan induk
2. Pendapatan dari cabang di luar negeri
Prinsip terkait adalah prinsip penangguhan dan prinsip kredit pajak.
Konsep Tax Haven, ialah tempat orang asing menerima pendapatan atau aset tanpa membayar tarif pajak tinggi.
Controlled Foreign Corporation, perusahaan USA dapat memilih untuk memproduksi, menjual melalui perusahaan anak di LN.
Pendapatan Cabang, hukum pajak di USA memiliki qualified business unit yang dibagi dua bagian yaitu penghasilan didistribusikan ke kantor pusat dan penghasilan ditahan di LN tempat QBU berada.
Insentif Pajak
1. Insentif untuk menarik eksportir agar ekspor dapat bersaing di LN
2. Insentif bagi investor asing agar menanamkan modal karena ada keringanan pajak.
3. Insentif lain adalah zero rate namun bukan berarti tak dikenai pajak. Jika sektor telah kompetitif maka tarif dinaikkan.
Perusahaan penjualan luar negeri
Foreign sales corporation harus memenuhi tuntutan :
1. Berbentuk korporasi dan memiliki kantor pusat di LN
2. Perusahaan secara substantif ekonomis bukan hanya legal
3. Memiliki min.25 pemegang saham
4. Ekspor dilakukan di luar USA
Perencanaan pajak internasional
Ekspor, FSC memberi kesempatan dan menyediakan keuntungan pajak. Jika perusahaan menentukan lisesnsi untuk teknologi LN harus memperhatikan with holding tax dan tax treaty.
Cabang, kerugian umum terjadi pada tahun pertama dan digunakan perusahaan induk untuk mengurangi beban pajak.
Perusahaan anak, keuntungan anak perusahaan belum dikenakan pajak sebelum dibagikan dalam bentuk pendapatan ke perusahaan induk tapi kerugian tak dapat dikompensasi ke perusahaan induk.
Lokasi untuk operasi LN, berhubungan dengan insentif pajak, tarif pajak, dan tax treaty.



MASALAH HUKUM PERPAJAKAN INTERNATIONAL

Sekalipun hubungan kerjasama antar negara demikian luasnya, perlu dipahami bahwa setiap negara memiliki kedaulatan terhadap teritorialnya dan sekaligus kebebasan dalam menentukan segala sesuatu yang berkaitan dengan negara yang bersangkutan, sehingga batas-batas tertentu dalam bekerjasama harus diatur dalam wujud kesepakatan, traktat maupun konvensi.
Indonesia sebagai Negara berdaulat memiliki hak untuk membuat sendiri ketentuan mengenai masalah perpajakannya, namun Indonesia juga tidak mungkin lepas dari pergaulan internasional yang juga bersinggungan dengan masalah pajak.
Transaksi antar kedua negara atau beberapa negara dapat menimbulkan aspek perpajakan, hal ini perlu diatur dan disepakati oleh kedua negara atau seluruh dunia guna meningkatkan perekonomian dan perdagangan kedua negara, agar tidak menghambat investasi penanaman modal asing akibat pengenaan pajak yang memberatkan wajib pajak yang berkedudukan di kedua negara yang mengadakan transaksi tersebut.
Untuk itu diperlukan adanya kebijakan perpajakan internasional untuk mengatur hak pengenaan pajak yang berlaku di suatu negara, dimana setiap negara dipastikan mengatur adanya pajak di wilayah kedaulatan negara tersebut. Pajak internasional merupakan salah satu bentuk hukum internasional, dimana setiap negara mau tidak mau harus tunduk pada kesepakatan dunia internasional yang sering disebut Konvensi Wina.[1]
Indonesia merupakan subjek hukum internasional, karena telah menandatangani Konvensi Wina, dan sebagai subjek hukum internasional, Indonesia tidak bisa menghindari pelaksanaan tax treaty[2], manakala masyarakat Indonesia telah berhubungan dan memperoleh penghasilan di negara lain tersebut.
Untuk memahami lebih lanjut mengenai Hukum Pajak Internasional, maka kita perlu memahami terlebih dahulu mengenai pengertian Hukum Pajak Internasional. Pengertian tentang Hukum Pajak Internasional menurut beberapa ahli yaitu[3]:
1)      Pendapat dari Prof. Dr. P. J. A. Adriani mengenai Hukum Pajak Internasional adalah suatu kesatuan hukum yang mengupas suatu persoalan yang diatur dalam Undang-Undang Nasional mengenai pemajakan terhadap orang-orang luar negeri, peraturan-peraturan nasional untuk menghindarkan pajak ganda dan traktat-traktat. Menurutnya bahwa Hukum Pajak Internasional sebenarnya merupakan hukum pajak nasional yang didalamnya mengatur pengenaan pajak terhadap orang asing.
2)      Pendapat dari Prof. Mr. H. J. Hofstra ialah bahwa Hukum Pajak Internasional merupakan keseluruhan peraturan hukum yang membatasi wewenang suatu negara untuk memungut pajak dari hal-hal internasional. Batasan yang dikemukakan Hofstra lebih menekankan pada kewenangan suatu negara atau yuridiksi suatu negara dalam hal memungut pajak yang materinya berkaitan atau berhubungan dengan negara-negara lain (dalam arti orang-orang asing yang bukan warga negara suatu negara).
3)      Pendapat dari Prof. Rochmat Soemitro ialah bahwa Hukum Pajak Internasional adalah hukum pajak nasional yang terdiri dari kaedah, baik berupa kaedah-kaedah nasional maupun kaedah-kaedah yang berasal dari traktat antarnegara dan dari prinsip atau kebiasaan yang telah diterima baik oleh negara-negara di dunia, untuk mengatur soal-soal perpajakan dan di mana dapat ditunjukan adanya unsur-unsur asing, baik mengenai subjeknya maupun mengenai objeknya. Ia mengemukakan bahwa Hukum Pajak Internasional itu terdiri dari norma-norma nasional yang diterapkan pada hubungan internasional.
Persoalan yang terjadi dalam hukum pajak ini ialah apakah hukum pajak nasional akan diterapkan atau tidak dan bukan seperti halnya pada hukum perdata internasional yang mempersoalkan hukum mana yang akan diterapkan oleh hakim, apakah hukum nasional atau hukum asing.
Hukum Pajak Internasional merupakan norma-norma yang mengatur perpajakan karena adanya unsur asing, baik mengenai objeknya maupun subjeknya. Maksud unsur asing pada objeknya adalah bahwa objek yang dimiliki oleh Wajib Pajak Dalam Negeri yang berada di Luar Negeri (diluar wilayah Republik Indonesia), atau sebaliknya bahwa objek pajak berada di wilayah Republik Indonesia, tetapi dimiliki oleh orang yang berada di luar negeri. Sedangkan unsur asing pada subjeknya berarti bahwa apabila seorang Warga Negara Indonesia atau badan Indonesia menerima atau memperoleh penghasilan dari luar negeri. Hal ini disebabkan karena Pajak Penghasilan Indonesia menerapkan prinsip worldwide income[4], sehingga penghasilan dari luar negeri di atas juga merupakan objek Pajak Penghasilan Indonesia.
Dalam pengenaan Pajak Penghasilan, dikenal 2 (dua) jenis subjek pajak[5] yaitu Subjek Pajak Dalam Negeri (disingkat SPDN) dan Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN). SPDN terdiri dari SPDN Orang Pribadi dan SPDN Badan.
SPDN Orang Pribadi adalah orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Sementara itu SPDN Badan adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
SPLN adalah kebalikan dari SPDN dalam arti orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tidak berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan suatu tahun pajak tidak berada di Indonesia dan tidak mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
SPLN yang berbentuk badan adalah badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Kedua kelompok di atas (SPLN Orang Pribadi dan SPLN Badan) baru bisa disebut SPLN apabila mendapatkan penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Dilihat dari cara mendapatkan penghasilannya dari Indonesia, SPLN ini terbagi menjadi 2 (dua) jenis. Pertama adalah SPLN yang mendapatkan penghasilan dengan memiliki tempat usaha tetap di Indonesia. Tempat usaha tetap ini biasa disebut Bentuk Usaha Tetap (BUT). Kedua, SPLN yang mendapatkan penghasilan dari Indonesia tidak melalui BUT di Indonesia. Kedua bentuk SPLN ini selanjutnya disebut SPLN BUT dan SPLN Non BUT.
Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh SPLN (baik orang pribdai atau badan) untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
Suatu Bentuk Usaha Tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business), yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin, peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik atau peralatan otomatis (automated equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet.
Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Perwujudan BUT dapat berupa tempat kedudukan manajemen, cabang, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi, perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan, gudang, ruang untuk promosi dan penjualan, proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan, pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas, agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
Penghasilan yang menjadi objek pajak bagi BUT, sebagaimana di dalam Pasal 5 ayat (1) UU PPh, terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu:
1.      Penghasilan dari usaha atau kegiatan Bentuk Usaha Tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai;
2.      Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia;
3.      Penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara Bentuk Usaha Tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
Penghasilan BUT yang pertama adalah penghasilan sebenarnya BUT dari harta yang dimiliki atau dikuasainya di Inonesia. Penghasilan yang kedua merupakan penerapan force of attraction rule di mana walaupun penghasilan ini adalah penghasilan kantor pusat BUT di luar negeri, tetapi karena berasal dari penjualan atau pemberian jasa yang sejenis dengan yang dilakukan BUT, maka penghasilan ini ditarik sebagai penghasilan BUT nya di Indonesia.
Penghasilan yang ketiga merupakan penerapan atribusi karena hubungan efektif di mana jika kantor pusat BUT menerima atau memperoleh penghasilan berupa bunga, dividend dan royalty dari suatu perusahaan di Indonesia dan perusahaan ini mempunyai hubungan efektif dengan BUT, maka penghasilan ini akan distribusi juga kepada BUT di Inonesia. Tidak ada definisi kelas tentang hubungan efektif ini namun demikian, hubungan yang efektif ini bisa digambarkan sebagai hubungan ketergantungan atau hubungan yang saling menguntungkan antara BUT dan perusahaan yang memberikan dividen, bunga atau royalty kepada kantor pusat BUT.
Selain tunduk kepada ketentuan umum tentang pengurang sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 9 UU PPh, biaya bagi BUT juga diatur dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (3) UU PPh.
Berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UU PPh, biaya-biaya yang terkait dengan penerapan force of attraction rule dan atribusi hubungan efektif dapat dibiayakan oleh BUT. Sementara itu berdasarkan  Pasal 5 ayat (3) biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, yang besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Penghasilan yang diterima atau diperoleh SPLN yang tanpa melalui BUT di Indonesia merupakan objek pemotongan PPh Pasal 26. Dilihat dari cara pemotongannya, jenis penghasilan yang menjadi objek withholding tax PPh Pasal 26 ini adalah:
1.      Penghasilan Dengan Tarif 20% dari bruto. Penghasilan yang termasuk kelompok ini adalah dividen, bunga, sewa, royalty, imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan, hadiah dan penghargaan, uang pension, premi swap dan keuntungan pembebasan hutang.
2.      Penghasilan Dengan Tarif 20% dari Perkiraan Penghasilan Neto. Termasuk dalam kelompok ini adalah capital gain atas penjualan atau pengalihan harta di Indonesia dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri. Termasuk dalam kelompok ini adalah penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3c) UU PPh.
3.      Penghasilan Branch Profit Tax dari BUT. Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20%, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.

B. Permasalahan
Apabila atas satu objek pajak dan subjek pajak yang sama dikenakan pajak lebih dari satu kali, maka dapat menimbulkan beban yang berat bagi subjek yang dikenakan pajak tersebut, sehingga dapat menimbulkan apa yang disebut dengan pajak berganda internasional (international double taxation). Untuk menghilangkan pengenaan pajak berganda internasional dan untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak (tax avoidance) itulah, maka diperlukan suatu perjanjian bilateral di bidang perpajakan dengan Negara lain.
Undang-undang PPh, telah memberikan mandat kepada pemerintah untuk melakukan perjanjian dengan Negara lain. Dalam penjelasan Pasal 32A UU PPh yang mengatur hal ini dijelaskan bahwa perjanjian perpajakan berlaku sebagai perangkat hukum yang berlaku khusus (lex-spesialis). Dengan demikian, ketentuan dalam UU Pajak Penghasilan tidak berlaku apabila di dalam perjanjian perpajakan diatur lain.
Berdasarkan hal tersebut, maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.   Bagaimakah cara-cara penghindaran pajak berganda internasional?
2. Bagaimanakah bentuk Sumber-sumber Hukum Pajak Internasional yang berlaku di Indonesia?


BAB II
PEMBAHASAN

A. CARA-CARA PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA INTERNASIONAL
Pada umumnya terjadinya pajak berganda adalah sebagai akibat dari[6]:
  1. Evolusi kehidupan ekonomi individu dan kelompok sosial, perkembangan alat perhubungan dan hubungan internasional, perluasan perusahaan (perseroan saham) dan penyebaran kekayaan, baik yang berupa harta tetap maupun harta bergerak.
  2. Banyaknya pajak-pajak di negara modern.
  3. Nasionalisme ekonomi maupun politik.
Prof. Rochmat Soemitro dalam bukunya Hukum Pajak Internasional memberikan pengaertian bahwa pajak berganda internasional terjadi apabila pengenaan pajak dari dua negara atau lebih saling menindih, sedemikian rupa sehingga orang-orang yang dikenakan pajak di negara-negara yang lebih dari satu memikul beban pajak yang lebih besar daripada jika mereka dikenakan  pajak di satu negara saja. Beban tambahan yang terjadi tidak semata-mata disebabkan karena perbedaan tarif dari negara-negara yang bersangkutan, melainkan karena dua negara atau lebih secara bersamaan memungut pajak atas objek dan subjek yang sama.
Pajak Internasional mengenal azas-azas tentang domicile country dan source country. Disebut domicile country apabila negara tempat tinggal Wajib Pajak (domicile country atau home country) menganut asas domisili yang mengenakan pajak penghasilan atas worldwide income atas dasar asas domisili.
Apabila Wajib Pajak melakukan transaksi dan memperoleh laba di negara tempat tinggalnya (source country atau host country), dan kemudian dikenakan juga pajak penghasilan atas laba tersebut atas dasar asas domisili, maka Wajib Pajak tersebut akan dikenakan pajak dua kali (double taxation). Yang pertama oleh source country dan yang kedua oleh domicile country. Negara-negara yang tarif pajaknya rendah atau sama sekali tidak mengenakan pajak atas penghasilan disebut sebagai negara-negara surga pajak (tax haven countries).
Pajak berganda dapat dibedakan menjadi Pajak berganda internal (internal double taxation); pajak berganda internasional (international double taxation); pajak berganda secara yuridis (juridical double taxation) serta pajak berganda secara ekonomis (economic double taxation). Internal double taxation adalah pengenaan pajak atas Subjek dan Objek Pajak yang sama dalam suatu negara. International double taxation adalah pengenaan pajak dua kali (atau lebih) terhadap Subjek dan Objek Pajak yang sama oleh dua negara. Dua negara atau lebih mengenakan pengenaan pajak atas Objek Pajak yang sama dan Subjek Pajak yang sama.
Knechtle dalam bukunya berjudul Basic Problem in International Fiscal Law (1979) membedakan pengertian pajak berganda secara luas (wider sense) dan secara sempit (narrower sense). Secara luas pengertian pajak berganda diartikan setiap bentuk pembebanan pajak dan pungutan lainnya lebih dari satu kali, dapat dalam bentuk berganda (double taxation) atau lebih (multiple taxation) terhadap suatu fakta fiskal. Secara sempit pajak berganda dianggap terjadi pada semua kasus pemajakan beberapa kali terhadap suatu subjek dan atau objek pajak dalam satu administrasi perpajakan yang sama. Pajak berganda seperti ini sering disebut sebagai pajak berganda ekonomis (economic double taxation). Pemajakan ganda oleh berbagai administrator dapat pula terjadi secara vertikal (pemerintah pusat dan daerah, atau secara diagonal (pemerintah daerah kota/kabupaten, propinsi X dan Y).
Dalam penulisan makalah ini yang ingin diuraikan lebih lanjut oleh penulis adalah mengenai Pajak Berganda Internasional. Ada 2 (dua) cara untuk menghindari Pajak Berganda Internasional, yaitu pertama, cara unilateral (sepihak) dan kedua dengan cara bilateral atau multilateral.[7]
1.   CARA UNILATERAL (sepihak)
Cara ini dilakukan dengan memasukkan ketentuan-ketentuan untuk menghindarkan  pajak berganda dalam undang-undang suatu negara dengan suatu prosedur yang jelas. Biasanya yang dimasukkan dalam undang-undang suatu negara adalah prinsip-prinsip yang sudah menjadi kelaziman internasional, seperti ketentuan tentang pembebesan pajak para wakil diplomatik, wakil-wakil organisasi internasional. Pembebesan pajak ini biasanya disyaratkan adanya asas resiprositas atau timbal balik yang artinya bahwa negara yang bersangkutan baru akan memberikan pembebasan apabila sebaliknya negara lainnya juga memberikan pembebesan atas dasar syarat yang sama.
Penggunaan cara ini merupakan wujud kedaulatan suatu negara untuk mengatur sendiri masalah pemungutan pajak dalam suatu undang-undang. Hal ini yang tentunya mempunyai maksud untuk melindungi wajib pajak dalam negerinya sendiri yang melakukan usaha atau mempunyai kekayaan di wilayah negara lain, megikuti kebiasaan internasional, menarik modal asing, dan lain sebagainya.
Undang-undang PPh indonesia menganut cara penghindaran pajak berganda  dengan suatu metode yang disebut dengan metode kredit pajak. Pasal 24 undang-undang PPh menyebutkan bahwa, pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh wijib pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama (ayat 1). Besarnya kredit pajak adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayarkan atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi perhitungan pajak yang terutang berdasarkan undang-undang (ayat 2).  
2.   CARA BILATERAL atau MULTILATERAL
Cara bilateral atau multilateral dilakukan melalui suaru perundingan antar-negara yang berkepentingan untuk menghindarkan terjadinya pajak berganda. Perjanjain yang dilakukan secara bilateral oleh dua negara, sedangkan multilateral dilakukan oleh lebih dari dua negera, yang lebih dikenal dengan sebutan traktat atau tax treaty. Proses terjadinya perjanjian secara bilateral maupun multilateral tentu akan membutuhkan waktu yang cukup lama karena masing-masing negara mempunyai prinsip pemajakannya masing-masing sesuai dengan kedaulatan negaranya sendiri. Penghindaran pajak cara bilateral umumnya yang paling banyak dilakukan oleh suatu negara. Indonesia misalnya telah melakukan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan negara-negara lain yang sampai saat ini telah mencapai 49 negara. Sedangkan perjanjian penghindaran pajak yang dilakukan dengan cara  multilateral jarang sekali terjadi yang umumnya disebabkan sulitnya melakukan pembicaraan secara intensif dengan beberapa negara sekaligus. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa pada tahun 1922 pernah dicoba diadakan perjanjian multinasional di bidang pajak langsung yaitu antar-negara Italia, Yugoslavia, Austria, Polandia, Rumania, Chekoslovakia, dan Hungaria, tetapi gagal.
Pertanyaan sekarang adalah bagaimana kedudukan hukum atas tax treaty dalam sistem hukum nasional indonesia. Tax treaty dalam sistem hukum nasional indonesia tidak perlu diratifikasi oleh DPR tetapi cukup dengan suatu keputusan presiden dan baru merupakan bagian dari perundang-undangan yang kedudukannya berada di atas undang-undang pajak. Tax treaty diperlukan sebagai lex specialis terhadap undang-undang pajak yang ada.
Berdasarkan Pasal 32A Undang-Undang PPh diatur bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak. Untuk memberi kepastian hukum dalam penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B atau Tax Treaty), maka pada tanggal 30 April 2010, Dirjen Pajak mengeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ./2009 Tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
Dalam Pasal 3 peraturan ini diatur bahwa Pemotong/Pemungut Pajak harus melakukan pemotongan atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B, dalam hal:
1.      Penerima penghasilan bukan Subjek Pajak Dalam Negeri Indonesia;
2.      Persyaratan administratif untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B telah dipenuhi; dan
3.      Tidak terjadi penyalahgunaan P3B oleh WPLN sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tentang pencegahan penyalahgunaan P3B.
Dalam hal ketentuan tersebut tidak terpenuhi, Pemotong/Pemungut Pajak wajib memotong atau memungut pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU No.7 Tahun 1983 tentang PPh sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No.36 Tahun 2008.
Persyaratan administratif yang dimaksud dalam ketentuan tersebut adalah Surat Keterangan Domisili (SKD) yang disampaikan oleh WPLN kepada Pemotong / Pemungut Pajak:
1.      Menggunakan Form DGT 1 atau Form DGT 2;
2.      Telah diisi oleh WPLN dengan lengkap;
3.      Telah ditandatangani oleh WPLN atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan sesuai dengan kelaziman di negara mitra P3B;
4.      Telah disahkan oleh pejabat yang berwenang, wakilnya yang sah, atau pejabat kantor pajak yang berwenang di negara mitra P3B, yang dapat berupa tanda tangan atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan sesuai dengan kelaziman di negara mitra P3B; dan
5.      Disampaikan sebelum berakhirnya batas waktu dengan penyampaian SPT Masa untuk masa pajak terutangnya pajak.
Form DGT 1 yang disampaikan kepada Pemotong / Pemungut Pajak setelah berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Masa untuk masa pajak terutangnya pajak, tidak dapat dipertimbangkan sebagai dasar penerapan ketentuan yang diatur dalam P3B. Pemotong / Pemungut Pajak wajib menyampaikan fotokopi Form DGT 1 atau Form DGT 2 yang diterima dari WPLN sebagai lampiran SPT Masa.
Form DGT 2 digunakan dalam hal WPLN menerima atau memperoleh penghasilan melalui Kustodian sehubungan dengan penghasilan dari transaksi pengalihan saham atau obligasi yang diperdagangkan atau dilaporkan di pasar modal di Indonesia, selain bunga dan dividen. Form DGT 2 juga digunakan dalam hal WPLN bank dan WPLN yang berbentuk dana pensiun yang pendiriannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di negara mitra P3B Indonesia dan merupakan Subjek Pajak di negara mitra P3B Indonesia.
Bukti pemotongan atau pemungutan pajak wajib dibuat oleh Pemotong / Pemungut Pajak sesuai dengan ketentuan dan tata cara yang berlaku. Dalam hal terdapat penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN tetapi tidak terdapat pajak yang dipotong atau dipungut di Indonesia berdasarkan ketentuan yang diatur dalam P3B, Pemotong / Pemungut Pajak tetap diwajibkan untuk membuat bukti pemotongan atau pemungutan pajak.
Kembali ke masalah tax treaty, kerjasama dengan beberapa negara tersebut dipandang sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman, Pemerintah melalui Ditjen Pajak sedang menjajaki kerjasama tax treaty dengan 60 negara yang sudah menandatangani kerjasama tersebut dengan Indonesia. Untuk mendukung pengkajian ulang atas kerjasama penghindaran pajak berganda, Ditjen Pajak juga turut serta melakukan perbaikan terhadap beberapa cara terjadinya potensi pajak berganda seperti mekanisme transfer pricing[8]. Selain membuat kerja sama baru dengan beberapa negara, pemerintah juga sedang menyusun renegosiasi tax treaty dengan sejumlah negara. Melakukan negosiasi ulang tersebut adalah untuk menjaga kestabilan ekonomi di negara berkembang seperti Indonesia.[9]
Suatu perjanjian penghindaran pajak berganda (tax treaty) yang bersifat komprehensif (comprehensive tax treaty[10]) pada umumnya terdiri dari ketentuan-ketentuan sebagai berikut ini:
1)      Ketentuan tentang hal-hal yang menjadi ruang lingkup (scope provisions) dari suatu tax treaty, yang terdiri atas:
a.       Jenis-jenis pajak yang diatur dalam tax treaty;
b.      Subjek pajak yang dapat memanfaatkan tax treaty.
2)      Ketentuan yang mengatur tentang definisi dari istilah yang ada dalam tax treaty (definition provisions).
3)      Ketentuan yang mengatur tentang hak pemajakan suatu negara atas suatu jenis penghasilan (substanstive provisions).
4)      Ketentuan yang mengatur tentang pemberian fasilitas eliminasi atau keringanan pajak berganda (provisions for the elimination of double taxation).
5)      Ketentuan yang mengatur tentang pencegahan upaya penghindaran pajak (anti avoidance provisions), yang terdiri atas:
a.       Ketentuan tentang hubungan istimewa.
b.      Ketentuan tentang kerjasama antar otoritas perpajakan (mutual agreemeent procedure).
c.       Ketentuan tentang pertukaran informasi.
6)      Ketentuan lainnya (special provisions) seperti ketentuan tentang non-diskriminasi, diplomat, teritorial ekstensi, dan bantuan untuk melakukan pemungutan pajak.
7)      Ketentuan tentang saat dimulai dan berakhirnya suatu tax treaty (final provisions).

B. SUMBER-SUMBER HUKUM PAJAK INTERNASIONAL YANG BERLAKU DI INDONESIA
Prof. Dr. Rochmat Soemitro dalam bukunya Hukum Pajak Internasional Indonesia menyebutkan bahwa ada beberapa sumber hukum pajak internasional, yaitu:
  1. Hukum Pajak Nasional/Unilateral yang mengandung unsur asing.
Dalam hal ini diambil contoh dari undang-undang PPh dan undang-undang PPN.
  1. Traktat, yaitu kaedah hukum yang dibuat menurut perjanjian antar negara baik secara bilateral maupun multilateral. Perjanjian yang sifatnya multilateral yaitu, Indonesia terikat dalam Perjanjian Perpajakan dengan model Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), maupun model United Nations (UN)[11] yang merupakan acuan dalam rangka perundingan perjanjiann penghindaran pajak berganda.
  2. Keputusan Hakim Nasional atau Komisi Internasional tentang pajak-pajak internasional. Keputusan hakim maupun komisi internasional yang memberikan putusan yang menyangkut adanya unsur internasional merupakan sumber hukum yang sifatnya mengikat juga bagi hukum pajak indonesia.
Sedangkan Santoso Brotodihardjo, S.H. dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Pajak menyatakan bahwa sumber-sumber formal dari hukum pajak internasional, yaitu:
  1. Asas-asas yang terdapat dalam hukum antar negara (asas-asas ini dapat disimpulkan dari peraturan-peraturan dalam hkum antar negara, baik yang tertulis maupun yang tidak).
  2. Peraturan-peraturan unilateral (sepihak) dari setiap negara yang maksudnya tidak ditujukan kepada negara lain, seperti ”pencegahan pengenaan pajak berganda” (yang disebut di muka).
  3. Traktat-traktat (perjanjian) dengan negara lain seperti:
a.       Untuk meniadakan/menghindarkan pajak berganda.
b.      Untuk mengatur pelakuan fiskal terhadap orang-orang asing.
c.       Untuk mengatur soal pemecahan laba (winstsplitsing), di dalam hal suatu perusahaan/seseorang mempunyai cabang-cabang/sumber-sumber pendapatan di negara asing.
d.      Untuk saling memberi bantuan dalam pengenaan pajak lengkap dengan pemungutannya, termasuk juga usaha untuk memberantas evasion fiscale, yang dapat terjelma dalam saling memberi keterangan-keterangan tentang adanya  Tatbestand dengan segala detailnya yang diperlukan untuk penetapan pajaknya.
e.       Untuk menetapkan tarif-tarif douane.
Sumber-sumber pajak internasional tersebut terlalu luas, sehingga apabila dipersempit dengan yang hanya terkait dengan Negara Indonesia, maka sumber-sumber tersebut antara lain:[12]
1.   Kaedah hukum pajak nasional / unilateral yang mengandung unsur asing, antara lain:
a.   Peraturan Perpajakan Nasional yang mengatur P3B (Pasal 32 A UU PPh) tentang ”pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak”;
b.   Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang : Subjek Pajak Luar Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT);
c.   Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang : Tidak Termasuk Subjek Pajak;
d.   Peraturan perpajakan Nasional (Pasal 5 (2) UU PPh) tentang : Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang Tidak Termasuk Subjek Pajak Bentuk Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tengang TidakTermasuk Subjek Pajak Usaha tetap.;
e.   Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 18 UU PPh) tentang Hubungan Istimewa, Bilamana Terdapat Ketidakwajaran dalm Perpajakan;
f.    Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 24 UU PPh) tentang Kredit Pajak Luar Negeri;
g.   Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 26 UU PPh) tentang Pemotongan Pajak atas Su bjek Pajak Luar Negeri yan memperolrh penghasilan dsri Indonesia.
2.   Kaedah – kaedah yang berasal dari traktat :
a.   Perjanjian Bilateral;
b.   Perjanjian ini diwujudkan dengan adanya Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), yang sampai ditulisnya buku ini sudah ada 56 P3B;
c.   Perjanjian multilateral.
      Perjanjian ini seperti Konvensi Wina.
3. Keputusan Hakim Nasional atau komisi internasional tentang pajak-pajak internasional.
Hal ini dapat diwujudkan dengan adanya putusan pengadilan pajak yang menyangkut tentang perpajakan internasional, atau Keputusan Pengadilan Internasional Den Haag yang memuat soal-soal perpajakan.

Dalam pembagian hak pemajakan kepada suatu negara, tax treaty yang dikembangkan oleh OECD Model cenderung untuk memberikan hak pemungutan pajak sebanyak mungkin kepada negara domisili. Dengan kata lain, ketentuan-ketentuan yang ada dalam distributive rules dimaksudkan untuk membatasi hak pemajakan negara sumber.
Makna Terminologi "Shall be Taxable Only in.." dan "Maybe Taxed in"
Dalam model tax treaty yang dikembangkan oleh OECD, terminologi yang dipergunakan untuk menyatakan bahwa hak pemajakan atas suatu penghasilan hanya diberikan kepada satu negara yang biasanya diberikan kepada negara di mana subjek pajak tersebut terdaftar sebagai subjek pajak dalam negeri (residence state) adalah "shall be taxable only in...". Dengan demikian, jika hak pemajakan tersebut hanya diberikan kepada suatu negara maka negara lainnya tidak boleh untuk mengenakan pajak. Jadi, isu pemajakan berganda atas suatu penghasilan yang diatur melalui penggunaan terminologi ini seharusnya tidak akan terjadi karena hak pemajakan diberikan sepenuhnya kepada negara domisili dan negara sumber dilarang untuk mengenakan pajak.
Di sisi lain, terminologi yang dipergunakan untuk menyatakan bahwa hak pemajakan atas suatu penghasilan dibagi antara negara domisili dan negara sumber adalah "may be taxed in...". Makna terminologi tersebut adalah negara sumber juga dapat mengenakan pajak. Jadi, disamping negara domisili berhak untuk mengenakan pajak, negara sumber juga dapat mengenakan pajak. Apabila masing-masing negara mengenakan pajak maka terdapat isu pemajakan berganda. Untuk menghindari adanya pemajakan berganda maka negara domisili diwajibkan untuk memberikan keringanan pajak berganda melalui mekanisme tax credit method atau income exemption method (tergantung kepada ketentuan domestik negara domisili).
Negara-negara yang tergabung dalam keanggotaan di OECD Model Convention dapat merasakan manfaat yang sangat menguntungkan khususnya dalam hal permasalahan perpajakan internasional. Hubungan resiprokal yang baik pun dapat mendorong investasi dua arah dari negara-negara yang tergabung dalam keanggotaan OECD Model Convention.
Perlu kemauan pemerintah yang kuat dan lobi-lobi secara berkala dengan negara-negara lain. Khususnya negara-negara yang telah menjadi bagian dari OECD countries dalam menjalin kerja sama di bidang perpajakan serta menghapus peraturan-peraturan perpajakan yang memberatkan investor serta mengintrospeksi Tax Treaty dengan negara-negara yang digolongkan sebagai Tax Haven.
Keuntungan yang akan diperoleh oleh Indonesia dengan masuk dalam keanggotaan OECD adalah Indonesia dapat mengembangkan kerja sama dalam hal perpajakan internasional melalui Tax Treaty dengan negara-negara lain. Ketentuan-ketentuan yang terkait dengan interest atau pun dividen dari suatu perusahaan multinasional dapat lebih jelas terlihat dan menghindarkan Indonesia dari permasalahan-permasalahan perpajakan internasional.
Adanya kepastian dalam peraturan perpajakan merupakan hal yang sangat dicari oleh para investor di seluruh dunia. Dengan jelasnya peraturan perpajakan internasional yang dibangun oleh Indonesia dengan negara lain melalui Tax Treaty yang sesuai dengan ketentuan dalam OECD memberikan peluang yang sangat luas bagi pengusaha mana pun. Terutama dari negara-negara maju untuk mengembangkan investasinya di Indonesia.
Betapa mirisnya melihat kerja sama Indonesia dengan negara lain dalam hal Tax Treaty yang hanya dilakukan dengan kurang lebih 56 negara. Bila dibandingkan dengan Luxemburg yang merupakan negara mini di Eropa dan memiliki kerja sama dengan lebih dari 100 negara di dunia. Hal ini membuat negara tersebut menjadi kaya dengan investasi dan masuknya dana asing yang berimbas pada pertumbuhan ekonomi makro negara tersebut.
Dengan makin banyaknya negara yang bekerja sama dengan Indonesia dalam Tax Treaty dan aliran investasi yang terus mengalir ke Indonesia diharapkan akan memberikan suatu domino effect terlebih dalam hal pertumbuhan Ekonomi, penekanan jumlah pengangguran di Indonesia, peningkatan pemasukan daerah khususnya dari sektor pajak daerah, dan secara umum dapat menaikkan ekonomi makro Indonesia.[13]
Standar pajak internasional dalam model OECD mensyaratkan keterbukaan suatu negara untuk melakukan pertukaran informasi tentang pajak bila diminta oleh dunia internasional yang memiliki perjanjian dengan negara tersebut. Standar yang diusung C-20 ini bertujuan untuk menghindari praktik pemajakan berganda atas transaksi yang lintas batas negara, penghindaran pajak berganda, penghindaran pajak (tax avoidance) dan penyelundupan pajak (tax evasion).


BAB III
PENUTUP

Hukum Pajak Internasional ialah keseluruhan peraturan yang mengatur tata tertib hukum dan yang mengatur tentang hak pengenaan pajak di masing-masing negara. Pengertian Hukum Pajak Internasional itu merupakan suatu pengertian yang menggabungkan dari pada pengertian pajak ganda dan hukum pajak nasional.
Pemajakan internasional tidak terlepas dari adanya suatu perjanjian antar negara guna menghindari pemajakan berganda yang dapat menghambat laju investasi dan perekonomian negara tersebut. Untuk sahnya perjanjian Internasional di suatu Negara, maka atas perjanjian tersebut haris dilakukan:
1.      Ratifikasi (ratification);
2.      Aksesi (accession);
3.      Penerimaan (acceptance);
4.      Penyetujuan (approval).
Peraturan perpajakan yang berlaku di Negara Indonesia terhadap badan atau orang asing menjadi tidak berlaku bilamana terdapat perjanjian bilateral (dua negara) tentang persetujuan penghindaran pajak berganda dengan negara asal atau penduduk asing tersebut. Atas suatu transaksi internasional yang memberikan penghasilan bagi Wajib Pajak dalam negeri Indonesia atau yang memberikan penghasilan dengan sumber penghasilan di Indonesia kepada Wajib Pajak luar negeri, akan selalu berlaku ketentuan Undang-undang Domestik Indonesia, apabila Indonesia dengan negara yang bersangkutan tidak mempunyai tax treaty. Jika Indonesia mempunyai tax treaty, maka penerapan ketentuan Undang-undang Domestik Indonesia harus disesuaikan dengan ketentuan mengenai hal yang sama dalam Tax Treaty Indonesia tersebut.[14]
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) memiliki kedudukan yang setara dengan undang-undang, karena dalam penerapannya berfungsi melengkapi.
Perjanjian dianggap sah dan dapat dijalankan oleh penduduk antar negara apabila telah disahkan atau dikuatkan oleh badan yang berwenang di negaranya, dalam hal ini bisa DPR atau Presiden. Pengesahan tersebut dikenal dengan istilah ratifikasi.
Tujuan dari P3B tersebut adalah:[15]
1.      Tidak terjadi pemajakan ganda yang memberatkan iklim dunia usaha
Dengan P3B, maka pengenaan pajak atas laba usaha tidak dapat dikenakan di kedua tempat, yaitu negara sumber atau negara domisili. Laba usaha dikenakan pajak di tempat di mana mereka berkedudukan. Dengan adanya ketentuan ini, diharapkan dunia usaha mendapatkan kepastian hukum, karena membayar pajak hanya dikenakan satu kali, yaitu di negara domisili.
2.      Peningkatan investasi modal dari luar negeri
Pemajakan atas investasi berupa bunga dari pinjaman, deviden dari penanaman saham, royalty dari pemilik hak cipta, jika dikenakan pemajakan yang tinggi, maka dapat dipastikan penduduk asing akan berpikir ulang bahkan menjadi ragu untuk menanamkan modal di Indonesia, karena hasil investasi tidak sesuai dengan yang diharapkan.
3.      Peningkatan Sumber Daya Manusia
Dengan adanya pembebasan pajak atas mahasiswa dan pelatihan karyawan di negara di mana mereka menempuh pendidikan dan pelatihan, maka dipastikan dapat meningkatkan kemampuan sumber daya manusia yang lebih memadai.
Apabila penghasilan mahasiswa dan karyawan yang sedang melakukan pendidikan dan pelatihan dikenakan pajak, maka akan membebani mereka, sehingga mereka lebih baik tidak belajar di luar negeri atau menambah ilmu di luar negeri dimana mereka belajar atau bekerja. Hal ini jika diberlakukan, maka sumber daya manusia salah satu negara tersebut akan mengalami keterbelakangan di bidang ilmu pengetahuan.
4.      Pertukaran informasi guna mencegah pengelakan pajak
Dengan adanya informasi yang saling berhubungan antar kedua negara, maka penduduk yang tidak memenuhi kewajiban perpajakan di kedua negara menjadi jelas terlihat dan dapat terdeteksi sedini mungkin.
Negara yang terkait dengan tax treaty, dapat melaporkan penghasilan penduduk asing di negara sumber, misalnya dengan mengirimkan bukti penerimaan penghasilan dari negara sumber. Informasi penghasilan tersebut seharusnya dilaporkan oleh penerima penghasilan di negara domisili, dan diperhitungkan kembali di akhir tahun pajak.
5.      Keadilan dalam hal pemajakan penduduk antar kedua negara
P3B mengatur adanya pemajakan yang sama dan setara antar kedua negara, dengan prinsip saling menguntungkan dan tidak memberatkan penduduk asing antar kedua negara dalam menjalankan usaha. Negara yang mengadakan tax treaty  tidak boleh sewenang-wenang dalam hal pemajakan

No comments:

Post a Comment